Senin, 05 Mei 2008

Diriku dan dirinya

Pagi menyapa tatkala ku masih terluka. Aku menapaki hari demi asa yang tak seberapa. Berapa lama lagi kujalani masa ini hanya dengan asa. Bilakah aku dapatkan kepastian akan tujuan ku melangkah.

Jika kau tanya padaku saat ini, detik ini, tepat pada degup jantung ini, apakah aku senang dengan keadaan ini. Tentu aku akan jawab satu degup kemudian dengan jawaban mantap dan pasti. Tapi tahukah kau lima degup kemudian, hatiku kan berteriak. Tak lagi berbisik. Sudah lepas waktunya hati berbisik. Dia kini berteriak. Menjerit menyangkal. Tidak, hatiku tak senang. Amat sangat tidak senang. Bagaimana bisa hatiku senang padahal keinginannya tak terpenuhi.

Jangan kau tanya bagaimana aku bisa berdiri dengan dua belah pihak bagian diriku bertentangan. Aku tak tahu jawabannya. Takkan pernah tahu karena aku tak tahu dimana harus kukais jawaban itu.

Logika ku puas dengan kenyataan aku dan dirinya. Keadaan yang tanpa dipaksakan bersinggungan dengan nikmatnya. Awan dan kupu-kupu menari mengiringi. Senyumku tak sanggup kutahan karena ku bahagia. Walau hanya satu menit ku bersamanya. Aku pantas bersyukur dengan itu. Hanya dengan itu.

Lantas haruskah hatiku mengalah dari logika ku? Kami berdua sama-sama bodoh. Dengan mengabaikan perasaan, apalah namanya kalau bukan dua manusia yang sama-sama bodoh??

Tidak ada komentar:

Posting Komentar